BUKU ANTOLOGI AKU RINDU MASA KECIL JEJAK JEJAK PETUALANGAN CILIK
Ketika Lampu Obor Padam
Susilowati Sadali
***
Ustad Nur Khozin mengucapkan salam. Menutup
kegiatan mengaji malam ini. Tak butuh waktu lama, sesaat setelah Ustad
mengucapkan salam, para santri segera berlomba keluar surau. Bahkan tak jarang
terjadi aksi saling berdesakan di pintu surau.
Suara gemeruduk kaki para santri yang menapaki lantai geladak surau
terdengar nyaring berdentuman. Aku bergegas menuju pojok pagar kayu. Di sanalah
aku meletakkan lampu obor tangkai daun papayaku. Kurasakan angin malam ini cukup
kencang. Udara terasa dingin menembus kulitku.
“Arini dan Lilis belum
keluar, ya?” tanya Siti mengejutkanku. Aku membalikkan badan. Kulihat
Siti berdiri di belakangku sambil memeluk mukena di dadanya.
“Belum. Bukannya tadi mereka ada di sebelahmu?”
aku balik bertanya dengan suara agak keras. Karena suara deru angin membuat
lemah pendengaran.
“Iya sih, tadi mereka
sepertinya ke kamar kecil dulu, deh. Tapi, mengapa mereka lama
sekali?” timpal Siti. Keningnya tampak mengernyit. Matanya melihat kesana-kemari,
seolah khawatir terjadi sesuatu.
“Sambil menunggu mereka, kita hidupkan
dulu obor ini, yuk.” Kuberikan korek api kayu ke Siti.
“Niken! Siti!” Seru Arini yang muncul dari sebelah kanan
surau.
“Teman-teman!” kini suara Lilis terdengar nyaring sambil
berlari kecil di belakang Arini.
“Iya! Ayo cepetan! Keburu malam, lho!” sahut Siti.
“Iya maaf ya, tadi Arini mengantarkan aku
ke kamar kecil dulu, kebelet, hihi ….” Jelas Lilis dengan wajah tersipu.
“Oke, tidak masalah, ayo kita pulang.” Ajakku
seraya melangkah menuju jalan keluar.
Aku dan ketiga temanku berjalan
beriringan. Aku memegang erat lampu obor. Lilis berjalan di sebelah kiriku. Di
sampingnya, Arini memegang lampu obor dari bambu apus. Siti berada di ujung
paling kiri. Aku harus berjalan sejauh
satu setengah kilometer untuk sampai ke rumah.
Tak ada kata yang
terucap. Aku dan teman-temanku fokus berjalan menyusuri jalan berbatu. Saat
sampai di sebuah tikungan jalan, aku harus masuk gang jalan persawahan sejauh limaratus
meter. Dari kejauhan tampak ada lampu obor juga, tapi entah siapa.
“Anginnya
kencang sekali, ya?” ucap Arini tiba-tiba.
“Sudah
dari tadi sore, anginnya memang kencang,” timpal Lilis.
“Semoga
tidak terjadi angin puting beliung, seharusnya sekarang belum masuk musimnya,”
selorohku.
Tapi,
angin malam itu benar-benar sangat kencang. Api obor yang kubawa mulai
terombang-ambing.
“Jangan
sampai padam obormu, Ken. Kamu pindah ke tengah coba!” pinta Arini.
Aku
menuruti apa kata Arini. Saat aku berjalan pindah ke tengah,
Wuzzzzzzzz
….
Angin
berembus sangat kencang menerpa lampu oborku. Akhirnya lampu obor yang kubawa
pun padam.
“Wahh
… akhirnya padam juga, semoga lampu Arini aman, ya. Kan lebih besar.” Celoteh
Siti.
Kami
terus berjalan, perlahan menapaki jalan di tengah sawah. Tinggal tersisa satu
lampu obor yang juga mulai terombang-ambing apinya. Lampu obor yang tampak di
depan tadi, sudah tak tampak. Rasanya, cepat sekali mereka berjalan.
Angin
semakin kencang. Suaranya menderu membawa daun-daun kering beterbangan. Aku
merasakan baju dan mukenaku juga hampir terbang terhempas angin malam itu.
“Masya
Allah kencang banget anginnya, ini obornya mobat-mabit parah!” Arini mulai
khawatir. Aku membantu memegang lampu obornya. Tangan kami berdua pun ikut
terombang ambing terbawa angin kencang yang seolah-olah sedang marah tak tentu
arah.
“Awas,
Ken. Pegang yang kencang, apinya mendrip-mendrip!”
Siti mengingatkanku sembari mengambil jilbabnya yang terjatuh di depan kami.
“Ya
Allah … semoga angin ini cepat berlalu, gimana kalau sampe obor kita padam,
sudah tidak ada lagi teman yang bawa obor di belakang kita. Sepertinya semua
sudah di depan.” Suara Lilis terdengar sangat khawatir.
Angin
terus menderu dan tiba tiba seperti ada
putaran angin yang membuat obor yang kupegang terdorong ke samping dan makin ke
samping. Aku dan Arini berusaha mempertahankan posisi obor agar tetap tegak.
Tapi, tenaga kami tidak dapat mengalahkan putaran angin yang ada di atas kami.
Hal yang kutakutkan pun terjadi.
“Innalillah!
gimana ini? Aku takut! Tanganmu di mana? Gelap sekali, hiks ... hiks ….” Arini
setengah menjerit. Tangannya meraba-raba mencari tanganku. Sepertinya, dia juga
mulai ketakutan dan menangis.
“Innalillahi,
Allahu Akbar!” Siti ikut menjerit.
“Teman-teman,
tidak usah panik. Ini tanganku, mana tangan kalian? Ayo semua saling
berpegangan tangan. Tidak usah takut, ini hanya karena angin yang terlalu
kencang,” aku berusaha menenangkan mereka. Meskipun aku juga sebenarnya takut
karena gelap dan cuaca yang tak bersahabat. Ditambah lagi dengan adanya tanaman
jagung yang tumbuh tinggi, di sekeliling kami.
“Arini
....”
“I
… i ... ya,” jawab Arini sambil terisak.
“Lilis,”
“Iya,
Ken,” jawabnya.
“Siti,”
“Iya,
” suara Siti bergetar.
“Oke,
sekarang kita jalan pelan-pelan, di depan itu ada sedikit cahaya redup. Itu
berarti belokan ke arah rumah Mbah Kaji Sholeh, jangan lupa baca ayat kursi,
ya.” Aku berusaha membangkitkan keberanian teman-temanku.
“Iya,
tapi aku takuut … bukankah di sini dekat pohon sawo itu?” suara Arini terdengar
lirih di tengah isak tangisnya. Pohon sawo yang di maksud Arini, sering
dikait-kaitkan oleh masyarakat sekitar sebagai pohon sawo yang angker.
“Ahh
… tidak usah berpikir yang neko-neko. Bismillah ... Allah Maha
segalanya.” Kataku sok percaya diri.
“Teman-teman,
coba berhenti sebentar!” ucap Siti tiba-tiba.
“Kalian
dengar tidak? Ada suara aneh di sebelah kiri kita?”
Aku
mencoba menajamkan pendengaran. Terdengar bunyi kemeresek, tapi bukan karena
angin yang kencang, memang sedikit berbeda.
“Hmm
… hmm … hmm .…” Seperti suara orang bergumam, tidak hanya satu. Aku mencoba
mengamati di sekeliling. Tak ada satupun lampu yang menyala di sini. Jika ada
Pak tani sedang mengecek sawahnya, pasti mereka akan membawa lampu obor juga.
“Aaa
… a … pa itu … hiii ... aku takut!” Arini berbisik di sampingku. Kurasakan
tangannya semakin dingin, makin erat menggenggam tanganku. Tubuhnya bergetar.
………………………………………………..Selengkapnya………………………………………………………..